Jumat, 17 Februari 2012

Ja’far bin Abi Thalib

Beliau adalah Ja’far bin Abi Thalib –semoga Allah meridloinya- syahid pada perang mu’tah, anak paman Rasulullah saw, dan kakak kandung Ali, masuk Islam saat umur beliau masih muda dan ikut masuk Islam bersamanya pada hari itu juga istrinya Asma binti Umais, dan keduanya bertahan saat mendapatkan siksaan dan tekanan dengan gagah berani dan teguh.

Beliau sangat mirip dengan Rasulullah saw dari segi wajah dan prilakunya, dan Rasulullah saw menjulukinya dengan bapak fakir miskin, sebagaimana juga beliau dijuluki dengan pemiliki dua sayap, dimana Rasulullah saw berkata kepadanya saat kedua tangannya putus : “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya dengan dua sayap sehingga dia bisa terbang di surga sekehendaknya”. (Al-Hakim).

Ja’far sangat mencintai dan mengasihi fakir miskin, memberi makan mereka dan mereka dekat dengannya, berdialog dengan mereka dan merekapun merasa diajak berbicara olehnya, Abu Hurairah pernah bercerita tentangnya : “Orang yang paling baik dan mengasihi orang-orang miskin adalah Ja’far bin Abi Thalib”. Beliau juga berkata : “tidak ada seorangpun yang memakai sendal, mengendarai unta dan tidur diatas debu setelah Rasulullah saw yang lebih baik selain Ja’far bin Abi Thalib”.

Saat Rasulullah saw merasa khawatir atas para sahabatnya, beliau memilih Ja’far menjadi pemimpin untuk melakukan hijrah ke Habsyah, beliau bersabada : “Hendaknya kalian hijrah ke negeri Habsyah, karena disana terdapat seorang raja yang tidak pernah berbuat zhalim kepada siapapun”. Maka Ja’far dan para sahabat pergi melakukan hijrah ke negeri Habsyah, namun para Quraisy telah mencium gelagat mereka, sehingga mengirim dibelakang mereka Amru bin Al-‘Ash dan Abdullah bin Abi rabi’ah –saat itu keduanya belum memeluk Islam- dengan membawa hadiah untuk diserahkan kepada Najasyi raja Habsyah saat itu; dengan harapan mau menyerahkan Ja’far dan sahabatnya untuk dibawa pulang ke Mekkah dan memaksa mereka untuk murtad (keluar dari Islam).

Saat kedua utusan Quraisy Amru bin Al-‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah berada dihadapan raja Najasyi, keduanya berkata : Wahai paduka raja! Sesungguhnya telah datang dinegeri engkau para pemuda yang bodoh, mereka telah memisahkan agama nenek moyang mereka dan tidak mau mengikuti agamamu (masehi), namun mereka hadir disini dengan membawa agama baru yang mereka ciptakan sendiri, kami sama sekali tidak mengenalmya begitupun dengan engkau, kami telah diutus kepada engkau dari kalangan mereka yang paling mulia dari nenek moyang mereka, paman-paman mereka, dan keluarga mereka untuk kami bawa dan mengembalikan kepada mereka”. Saat keduanya telah selesai berbicara, wajah Najasyi dialihkan kewajah kaum muslimin dan bertanya kepada mereka : “Agama apakah gerangan yang telah memisahkan kalian dari kaum, dan kalian tidak membutuhkan agama kami ?

Maka berdirilah ja’far menjadi juru bicara dari kaum muslimin dan atas nama Islam dihadapan raja Najasyi, beliau berkata : “wahai paduka raja, pada zaman dahulu kami termasuk kaum jahili yang selalu menyembah berhala, memakan bangkai dan selalu melakukan perbuatan keji, memutus silaturahim, berbuat jelek terhadap tetangga, yang kuat menzhalimi yang lemah, hingga datanglah utusan Allah kepada kami seorang Rasul dari kalangan kami, kami telah mengenal nasabnya dan kejujurannya, amanah dan kesuciannya, hingga kami diseru untuk beribadah kepada Allah yang Maha Esa, dan meninggalkan sesembahan yang lain seperti yang telah kami lakukan dan nenek moyang kami sebelumnya seperti menyembah batu dan berhala, memerintahkan kami untuk selalu jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, menyambung silaturrahim, berbuat baik kepada tetangga, menjaga diri dari berbuat yang haram dan pertumpahan darah, dan mencegah kami melakukan perbuatan keji, berbicara dusta dan memakan harta anak yatim. Lalu kami membenarkannya dan mengimaninya hingga kami disiksa oleh kaum kami sendiri dan difitnah akan agama kami; mereka berusaha mengembalikan kami untuk menyembah berhala. Maka ketika mereka menzhalimi kami dan menekan kami dan berusaha memisahkan antara kami dan agama kami, kami berhijrah ke negeri engkau, dan kami senang hidup berdampingan denganmu, dan kami berharap engkau tidak ikut menzhalimi kami”.

Najasyi menyimak begitu asyik ucapan Ja’far hingga dirinya merasa terharu kemudian beliau bertanya kepadanya : apakah ada sesuatu bersamamu yang telah diturunkan atas Nabi kalian ? Ja’far menjawab : Ya. Najasi berkata lagi : bacakanlah kepada saya ! maka ja’farpun membacakan kepadanya surat maryam hingga beliau menangis. kemudian beliau menoleh kepada Amru dan Abdullah dan berkata kepada keduanya : “sesungguhnya demi Allah, inilah agama yang telah dibawa oleh nabi Isa untuk keluar dari perapian yang tunggal (dia bermaksud bahwa sumber Al-Quran dan Injil adalah satu). Pergilah kalian, karena demi Allah saya tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian !”

Maka saat itu pula, Amru berfikir untuk meninggalkan mereka. Dan pada hari berikutnya Amru kembali menghadap Raja, dan berkata kepadanya : “Wahai raja, sesungguhnya mereka akan mengatakan tentang nabi Isa berita yang sangat mengagumkan, maka beliaupun terpaksa memanggil para pendeta untuk mendengarkan ucapan ini dan meminta kaum muslimin untuk berkumpul. Najasyi berkata : “Apa pendapat kalian tentang Nabi Isa ?” Ja’far menjawab : “Kami berpendapat seperti apa yang dibawa oleh nabi kami saw, dia adalah hamba Allah dan utusan (Rasul) Allah, dan wahyunya disampaikan melalui Maryam dan ruh dari-Nya. Saat itu pula Najasyi mengumandangkan bahwa inilah yang telah disampaikan oleh Isa bin Maryam tentang dirinya, kemudian berkata kepada kaum muslimin : “Pergilah kalian, sesungguhnya kalian aman di negeri kami, dan barangsiapa yang mencaci dan menyakiti kalian, maka atasnya ganjaran yang setimpal”. Kemudian beliau juga mengembalikan hadiah yang diberikan oleh orang-orang Quraisy.

Ja’far dan kaum muslimin lainnya akhirnya kembali dari Habsyah setelah ditaklukkannya Khaibar, sehingga Rasulullah saw merasa gembira atas kedatangannya hingga beliau memeluknya dengan erat dan berkata kepadanya : “Aku tidak mengetahui dari hal apakah saya merasa gembira pada hari ini; apakah karena kedatangan Ja’far atau karena kemenangan atas khaibar ?”. (Al-Hakim). Kemudian Rasulullah saw memberikan kepadanya rumah untuk tempat tinggal beliau beserta istrinya; Asma binti Umais dan ketiga anaknya; Muhammad, Abdullah dan ‘Auf, dan Rasulullah saw juga mempersaudarakannya dengan Mu’adz bin Jabal.

Pada tahun 8 hijriah, Nabi mengirim pasukan ke Syam untuk menyerang pasukan Romawi, dan mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai komandan perang, beliau bersabda : “Hendaklah kalian mentaati Zaid, jika dia terluka dan syahid, maka penggantinya adalah Ja’far bin Abi Thalib, jika beliau terluka dan syahid, maka penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah”. (Ahmad dan Bukhari).

Ketika perang berkecamuk dengan dahsyatnya antara kedua pasukan di daerah mu’tah, Zaid bin Haritsah syahid, lalu digantikan oleh Ja’far yang maju dengan gagah berani menerobos ke tengah pasukan musuh sambil mengumandangkan bait-bait syair dengan suara lantang

Beliau terus maju membunuh pasukan musuh hingga tangan kanannya terputus, lalu bendera dialihkan ke tangan kirinya hingga terputus tangan kirinya, lalu beliau berusaha meraih kembali bendera tersebut dengan bahunya hingaa beliau menemui syahid.

Ibnu Umar berkata : “Ketika saya bersama Ja’far dalam perang Mu’tah, kami mencarinya dan menemuinya dalam keadaan tubuhnya terdapat lebih dari 90 tusukan, antara tusukan pedang dan panah.

Ketika Rasulullah saw mendengar atas syahidnya ja’far, beliau langsung pergi ke rumah anak pamannya, dan menemui anak-anak Ja’far, lalu beliau mencium mereka dan mendoakan orang tua mereka dengan kebaikan

KA'AB BIN MALIK

Ka’ab bin Malik adalah salah seorang sahabat Nabi yang mendapat anugerah Allah berupa kepiawaian dalam bersyair dan berjidal. Syair-syairnya banyak bertemakan peperangan. Kemampuan sebagai penyair ini, mengantarkannya menduduki posisi khusus di sisi Nabi, selain dua sahabat yang lain, yaitu Hassan bin Tsabit dan Abdullah bin Rawahah. Ka’ab bin Malik termasuk pemuka sahabat dari kalangan Anshar yang berasal dari suku Khazraj. Nama lengkapnya ialah ‘Amr bin Al Qain bin Ka’ab bin Sawaad bin Ghanm bin Ka’ab bin Salamah. Pada masa jahiliyah, ia dikenal dengan kunyahnya (panggilan) Abu Basyir.




Kisah kejujuran Ka’ab bin Malik ini, berawal saat Rasulullah telah
mengambil keputusan untuk menyerang Romawi. Beliau memobilisasi para
sahabat untuk tujuan itu. Kaum rnuslimin segera melakukan persiapan
dan berlomba-lomba menginfakkan harta yang mereka miliki.


Di tengah kesibukan kaum muslimin melakukan persiapan, ada seorang
sahabat yang belum memulainya. la bernama Ka’ab bin Malik. Kali ini,
Allah hendak mengujinya dengan perang Tabuk.


Pada masa tuanya, Ka’ab bin Malik menuturkan kisahnya kepada putranya
: "Aku tidak pernah absen dalam satu peperangan pun bersama
Rasulullah kecuali dalam perang Tabuk dan perang Badr. Tatkala Rasulullah
berangkat bersama pasukan, aku masih terlambat dan belum sempat melakukan
persiapan. Batinku berharap, aku bisa menyusul mereka. Namun akhirnya,
langkahku benar- benar terhambat. Kesedihanku bertambah, ketika aku
tahu bahwa orang-orang yang tidak bergabung dalam jihad itu hanya
orang-orang yang tertuduh munafik atau kaum yang lemah fisiknya".


Saat Rasulullah tiba di Tabuk, Beliau bertanya: "Apa yang
terjadi dengan Ka’ab?"


Seorang laki-laki dari kaumku dengan kiasan menjawab,"Baju
kesayangannya telah menahannya". Namun Mu’adz menangkisnya,"Sungguh
buruk perkataanmu. Demi Allah, kami tidak mengetahui tentang dirinya
kecuali baik saja". Rasulullah terdiam.


Ketika Rasulullah, kembali dari peperangan, orang-orang yang absen
segera menemui Beliau, untuk menyampaikan alasan-alasan mereka. Jumlah
mereka delapan puluh orang lebih. Rasulullah pun menerima alasan-alasan
mereka dan memohonkan ampun bagi mereka.


Sempat terbesit dalam benakku untuk mengajukan alasan dusta kepada
Beliau, agar aku selamat dari kemarahan Beliau. Namun kuurungkan niatku
dan kubulatkan tekad untuk berkata jujur kepada Beliau. Aku mengucapkan
salam kepada Beliau, Beliau tersenyum kecut kepadaku.


Beliau berkata,"Kemarilah!"


Aku pun mendekat dan duduk di hadapan Beliau.


Beliau bertanya kepadaku,"Apa yang menahanmu? Bukankah engkau
telah mempertaruhkan punggungmu?"


Aku menjawab,"Benar, wahai Rasulullah. Demi Allah, seandainya
saat ini aku duduk di hadapan orang selain engkau, tentu aku sampaikan
segala argumentasi yang dapat menyelamatkanku dari kemarahan, lantaran
aku ahli berjidal (pandai bicara). Namun aku sungguh mengetahui, seandainya
hari ini aku berdusta supaya engkau memaklumiku, niscaya Allah yang
akan memberitahukan kepada engkau. Aku mengatakan alasan yang sebenarnya
dengan jujur kepadamu. Dan sungguh, aku berharap ampunan Allah dengan
kejujuranku. Demi Allah, aku sama sekali tidak memiliki alasan saat
aku berdiam di rumah dan tidak ikut serta perang bersamamu."


Beliau berkata,”Laki-laki ini telah berkata jujur. Berdirilah sampai
Allah memutuskan perkaramu," aku pun berdiri dan meninggalkan
Beliau.


Sekelompok laki-laki dari Bani Salimah mengejarku seraya berkata,"Demi
Allah, kami tidak mengetahui engkau melakukan dosa sebelum ini. Mengapa
engkau tidak beralasan seperti yang dilakukan orang-orang itu? Sungguh,
permohonan ampun Rasulullah untukmu akan menghapus dosamu."


Mereka terus membujukku hingga aku berpikir untuk kembali kepada Rasulullah
dan berdusta kepada Beliau. Aku bertanya kepada mereka,”Adakah orang
yang mengalami hal yang sama sepertiku?"


Mereka menjawab,"Ada! Dua orang laki-laki yang mengatakan
alasan seperti alasanmu. Dan Rasulullah mengatakan perkataan yang
sama kepada mereka, seperti yang Beliau katakan kepadamu."


Aku bertanya,"Siapa mereka?"


Mereka menjawab,”Murarah bin Ar Rabi’ Al ‘Amri dan Hilal bin Umayyah
Al Waqifi."


Mereka adalah dua orang sahabat yang ikut dalam perang Badr dan pada
diri mereka terdapat suri tauladan. Aku pun berlalu meninggalkan mereka.


Sejak saat itu, Rasulullah melarang para sahabat berbicara dengan
kami, tiga orang yang tidak ikut dalam perang Tabuk. Dua sahabatku,
mereka tak tahan menghadapi hajr (isolasi) yang dilakukan kaum muslimin
terhadap kami. Mereka mengurung diri dalam rumah dan tak pernah berhenti
menangis. Sedangkan aku adalah orang yang termuda dan terkuat di antara
mereka. Kukuatkan hatiku untuk menemui orang-orang, berharap akan
ada seseorang yang menyapaku. Namun tak ada seorang pun yang mau berbicara
denganku.


Ketika aku memasuki masjid, kuucapkan salam kepada Rasulullah. "Apakah
Beliau akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku?"
tanya hatiku.


Aku pun shalat dan mengambil posisi terdekat dengan Beliau. Aku mencuri-curi
pandang kepada Beliau. Ketika aku fokuskan pandangan pada shalatku,
Beliau memandangku. Dan bila aku meliriknya, Beliau memalingkan wajahnya
dariku.


Keadaan itu terus berlanjut hingga beban itu kian berat kurasakan.
Aku pun menemui Abu Qatadah, sepupuku dan orang yang sangat kucintai.
Aku memanjat dinding rumahnya dan kuucapkan salam padanya. Namun dia
tidak menjawab salamku. Aku berkata memelas padanya, "Wahai,
Abu Qatadah! Demi Allah, bukankah engkau mengetahui bahwa aku mencintai
Allah dan RasulNya?"


la hanya terdiam dan tidak menanggapi perkataanku. Kuulangi kata-kataku
tadi berkali-kali, hingga ia berujar singkat: "Allah dan
RasulNya yang lebih mengetahui". Air mataku pun meleleh tanpa
bisa kutahan. Aku berlalu.


Suatu ketika, saat aku berjalan di pasar kota Madinah, seorang laki-laki
dari Syam yang menjual makanan di pasar itu bertanya kepada orang-
orang: "Siapakah yang mau menunjukkan Ka’ab bin Malik kepadaku?"


Orang-orang pun memberitahukannya. Dia pun mendatangiku. Kemudian
menyerahkan sehelai surat dari Raja Ghassan. Tertulis dalam surat
itu:


"Telah sampai berita kepadaku, bahwa temanmu telah menyia-nyiakanmu.
Sedangkan Allah tidak menjadikanmu orang yang terhina dan tersia-siakan.
Bergabunglah dengan kami, maka kami akan rnenolongmu".


Aku berkomentar,"lni pun cobaan untukku," lalu aku
lempar surat itu ke dalam tungku api.


Setelah berlalu empat puluh hari semenjak Rasulullah dan para sahabat
mengisolasi kami, tiba-tiba datang utusan Beliau dengan membawa perintah
agar aku menjauhi istriku. Aku bertanya, "Apakah aku harus
menceraikannya atau apa yang harus kulakukan?"


Sang utusan menjawab,’Tidak, tapi jauhilah ia dan jangan engkau sentuh."


Aku berkata kepada istriku, "Kembalilah kepada keluargamu.
Tinggallah bersama mereka sampai Allah memutuskan perkara ini."


Keadaan seperti itu terus berlanjut. Hingga tibalah suatu pagi selepas
aku shalat shubuh. Kondisiku saat itu seperti yang Allah kisahkan,
terasa sempit jiwaku dan bumi yang ku pijak seakan tak kukenali lagi.


Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak: "Wahai, Ka’ab
bin Malik! Berbahagialah!" Aku pun segera menghaturkan syukur
dengan sujud kehadiratNya. Sungguh telah datang jalan keluar bagi
kami. Rasulullah telah mengumumkan kepada para sahabat setelah shalat
Shubuh. Allah telah menerima taubat kami.


Orang-orang berbondong-bondong menemui kami dan mengekspresikan kegembiraan
mereka atas berita ini. Sungguh tak terlukiskan kebahagiaanku saat
itu. Aku memberikan dua baju yang kukenakan kepada laki-laki yang
datang membawa kabar gembira itu. Padahal saat itu, aku tidak memiliki
baju selain kedua baju itu. Oleh karena itu, aku meminjam baju dan
bergegas ke masjid menemui Rasulullah.


Saat itu Beliau dikelilingi para sahabat. Tiba-tiba Thalhah bin Ubaidillah
berdiri dan berlari kecil menghampiriku, kemudian ia menggamit tanganku
dan menyalamiku seraya mengucapkan selamat untukku. Sungguh, tidak
ada seorang pun yang berdiri dan melakukan seperti yang ia lakukan,
hingga aku pun tidak pernah melupakan kebaikannya itu.


Aku pun masuk masjid dan mengucapkan salam kepada Rasulullah. Saat
itu wajah Beliau berseri-seri dan bersinar bak rembulan. Tatkala aku
sudah duduk di depan Nabi, Beliau berkata: "Berbahagialah
dengan hari terbaik yang engkau jumpai semenjak ibumu melahirkanmu".


"Apakah pengampunan ini darimu, wahai Rasulullah? ataukah
dari Allah?" tanyaku.


Beliau menjawab, "Tidak! Pengampunan ini datang langsung
dari sisi Allah."


Aku berkata kepada Beliau:


"Wahai, Rasulullah! Sungguh, sebagai cerminan nyata taubatku,
aku sedekahkan hartaku di jalan Allah".


Beliau berkata, "Tahanlah sebagian hartamu untuk dirimu,
karena itu lebih baik bagimu."


Aku mentaati perintah Beliau dan berkata: "Kalau begitu,
aku tahan anak panahku yang kugunakan dalam perang Khaibar. Dan sungguh
Allah telah menyelamatkanku dari perkara pelik ini karena kejujuran.
Maka sebagai wujud taubatku pula, aku tidak akan berbicara kecuali
dengan jujur". Sungguh, aku tidak mengetahui ada orang lain
yang mendapat ujian kejujuran seperti Allah mengujiku. Hingga sampai
saat ini, aku tidak pernah bicara dusta satu kali pun sejak berjanji
kepada Rasulullah. Dan aku morion kepada Allah agar menjagaku pada
sisa umurku ini".


Demikianlah sosok Ka’ab bin Malik. Seorang mujahid di jalan Allah
dengan pedang dan lisannya. Sosok patriot yang memiliki kejujuran
setegar batu karang. Tak terkikis oleh ujian yang menyempitkan hatinya.
Dijalaninya sisa hidupnya dengan selalu menggenggam kejujuran. Pada
masa tuanya, ia kehilangan penglihatannya. Dan putranya, Abdullah
yang menjadi pemandu sejak Allah menghilangkan penglihatannya. Ka’ab
bin Malik wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.
Semoga rahmat dan keridhaan Allah senantiasa tercurah atas diri penyair
Rasulullah ini.

Ammar Bin Yasir

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka membaiatnya di bawah pohon…(Al-Fath : 18). Ayat ini menurut para mufasir berhubungan para sahabat Nabi yang memberikan baiatnya kepada Rasulullah. Salah satu dari mereka itu bernama Ammar Bin Yasir. Ia seorang putra dari Sumayyah yang dikenal sebagai syahidah pertama dalam Islam. Ammar berkulit sawo matang dan berperawakan tinggi. Kedua matanya hitam kebiru-biruan. Pundaknya bidang dan rambutnya lebat.

Ia masuk Islam ketika berada di Ka`bah tidak sengaja mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan Muhammad SAW. Karena terasa berbeda dengan lantunan syair-syair Arab maka Ammar menelusurinya. Maka larangan untuk tidak mendekati Muhammad SAW tidak digubrisnya. Akhirnya Ammar pun sengaja datang ke Darul Arqam. Di depan rumah itu Ammar kepergok Suhaib Bin Sanan.

“Mau apa kau ke sini,” tanya Ammar mendahului. ”Aku mau menemui Muhammad dan ingin mendengarkan ajaran-ajarannya,” jawab Suhaib singkat. “Aku pun begitu,” ungkap Ammar. Dan setelah itu mereka masuk dan mendengarkan tausiyah Rasulullah hingga menjelang malam. Besoknya Ammar datang lagi dan masuk Islam. Ia menghafal ayat-ayat Al-Quran yang disampaikan Rasulullah SAW. Ia membacanya secara lunak. Hari berikutnya membaca secara keras dan makin keras hingga terdengar ke luar rumah.

Ammar selain berjasa dalam membangun masjid pertama, Quba, juga ikut berjuang bersama Nabi dalam perang Badr, Uhud, Khaibar, Khandak dan peperangan lainnya. Ammar bersama orangtuanya, Sumayyah Binti Kahiyyat dan Yasir pernah disiksa oleh Abu Jahal Bin Hisyam ditengah-tengah padang pasir, ramdha. Saat tahu tentang itu, Rasulullah datang dan berkata, “hai keluarga Yasir, sabarlah! kalian dijanjikan pahala surga.”

Bahkan mereka diancam akan dibunuh jika tidak meninggalkan agama Islam. Kedua orangtua Ammar, Yasir dan Sumayah, tetap berpegang teguh memegang Islam dengan berani berujar di hadapan para musyrikin, “kami yang sudah suci dengan Islam tidak mau mengotorinya lagi.” Mendengar itu para musyrikin marah dan akhirnya membunuh keduanya dengan tombak. Atas tindakan itu, akhirnya Ammar tidak bisa apa-apa selain menuruti kaum musyrikin. Ia dihadapan para pemuka musyrikin melontarkan cacian dan makiannya kepada Rasulullah dan langsung menyatakan keluar dari agama Islam. Kejadian itu pun diketahui Nabi. Selang beberapa hari setelah kejadian itu turunlah ayat kepada Nabi, “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap beriman (Dia tidak berdosa)” (QS An-nahl:106). Berdasarkan ayat ini umat Islam pada waktu itu diizinkan untuk melakukan taqiyah dalam rangka menjaga keselamatan. Inilah yang dilakukan Ammar yang terpaksa mencaci maki Nabi dan menyatakan keluar dari Islam untuk penyelamatan jiwanya. Dan tindakan taqiyah yang dilakukan Ammar tadi dibenarkan oleh Nabi, “Kalau mereka kembali menyiksamu lagi, ucapkan cacianmu padaku; Allah akan mengampunimu dikarenakan kamu terpaksa melakukannya.”

Ada hadits lain yang berkenaan dengan Ammar, yaitu dari Khalid Bin Walid yang berkata bahwa dirinya pernah bertengkar dengan Ammar. Lalu mengadukannya kepada Nabi. Saat itu Rasulullah SAW langsung berkata, “Hai Khalid, siapa yang memaki-maki Ammar Bin Yasir, Allah akan memaki-maki dia. Barang siapa yang memusuhinya, Allah akan menjadi musuh dia. Barangsiapa yang merendahkan Ammar, Allah pun akan merendahkan dia.” Inilah pujian yang menyatakan kedudukan Ammar Bin Yasir dihadapan Allah dan Rasul-Nya.

Selain tercatat sebagai muslim yang taat, Ammar juga termasuk orang berusaha mendamaikan pertengkaran antara Anshar dan Muhajirin saat peristiwa Saqifah, yang merebutkan kepemimpinan Islam pasca wafat Nabi. Orang-orang Anshar mengajukan Saad Bin Ubadah dan orang-orang muhajirin menunjuk Abu Bakar. Ammar ketika melihat perseturuan itu memberikan nasehat kepada kedua kelompok tersebut. Sebagai jalan keluarnya, Ammar mengadakan rapat yang disebut Majelis Syura. Konsep inilah bukti kontribusi gagasan/ide dari Ammar Bin Yasir pada Islam. Ammar juga pada masa khalifah Umar Bin Khattab diamanahi sebagai gubernur Kufah, Irak.

Bahkan pada masa khalifah Utsman Bin Affan, Ammar memberikan nasehat kepadanya. Terutama masalah pengangkatan pejabat-pajabat teras yang berasal dari keluarga Utsman. Atas tindakannya itu Ammar dianggap orang yang berusaha melakukan sabotase terhadap pemerintah. “Alhamdulillah, ternyata penegak kebenaran selalu dihinakan,” ucap Ammar ketika Hasyim Bin Walid Bin Mughira mengejeknya. Kemudian dalam buku Syarh Nahjul Balaghah dikabarkan tubuhnya dipukuli beberapa kaum musyrikin hingga pingsan. Dalam keadaan itulah sebagian kaum muslimin membawanya ke rumah Ummu Salamah, salah seorang istri Nabi. Ammar pingsan cukup lama hingga beberapa waktu tidak shalat—karena tidak sadar. Ketika sadar dari pingsan Ammar berkata, “Alhamdulillah bukan sekali ini aku disakiti, dahulu juga dianiaya ketika membela Rasulullah.”

Menurut sejarah Ammar Bin Yasir wafat dimasa khalifah Ali Bin Abi Thalib, yaitu pada usia 94 tahun, saat perang Siffin kepalanya terlepas dari badan. Ali Bin Abi Thalib kemudian menshalatkan dan menguburkannya di Riqqah, 300 km dari kota Damaskus, Suriyah.

Begitulah perjuangan seorang muslim di masa awal Islam. Meskipun penuh cobaan dari kaum musyrikin, tetapi kepatuhan dan ketangguhannya dalam memeluk Islam betul-betul sebuah teladan yang harus diikuti umat Islam

Mu'adz bin Jabal

Ia adalah seorang tokoh dari kalangan Anshar yang ikut baiat pada Bai’atul ‘Aqabah kedua, dengan demikian ia termasuk as-saabiquunal awwaluun ( golongan yang pertama masuk islam). Keistimewaan yang menonjol dari dirinya adalah dalam hal fiqih, hal ini mendapat pujian dari Rasulullah saw, dalam sabda Rasulullah : “ umatku yang paling tahu akan yang halal dan haram ialah Mu’adz bin jabal.” Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hamper sama dengan ‘Umar bin Khaththab.
Dalam menghukumi sesuatu Mu’adz berpedoman kepada kitabulah, jika ia tidak menjumpainya dalam kitabullah, ia berpedoman pada sunnah Rasul, jika ia tidak menemuinya dalam sunnah Rasul, maka maka ia menggunakan akal fikirannya untuk berijtihad, dan ia tidak akan berlaku semaunya.
‘Aidzullah bin ‘Abddullah bercerita : “pada awal pemerintahan ‘Umar, ia berada dalam suatu majlis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih, masing-masing menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah saw, dalam halaqah tersebut ia dapati seorang anak muda yang tampan, kulitnya hitam manis, dan baik tutur katanya. Usianya paling muda diantara yang lainnya. Jika mereka mendapati keraguan terhadap suatu hadits, mereka menanyakannya kepada anak muda itu dan ia segera memberikan fatwanya. Dan ia tidak berbicara kecuali bila diminta. Dan ketika majlis itu berakhir, ‘Aidzullah menanyakan siapa namanya. Dan ia menjawab , saya adalah Mu’adz bin Jabal.
Mu’adz memiliki otak yang terlatih dan logika yang menawan. Ia seorang yang pendiam, dan tidak berbicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan kedudukannya yang tinggi dalam bidang pengetahuan mendapat penghormatan kaum muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah saw masih hidup, maupun setelah beliau wafat. Mu’adz adalah seorang yang murah tangan, berhati lapang dan berbudi tinggi. Jika ada yang meminta sesuatu kepadanya maka ia akan memberinya dalam jumlah yang banyak dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan hatinya telah menguras hartanya.
Dimasa pemerintahan Abu Bakar, Mu’adz berada di Yaman. ‘Umar tahu bahwa Mu’adz telah menjadi seorang yang kaya raya, maka ‘Umar Mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar kekayaan Mu’adz dibagi dua. Tanpa menunggu jawaban Abu Bakar, ‘Umar pergi ke rumah Mu’adz dan mengemukakan masalah tersebut. Mu’adz adalah seorang yang bersih tangan dan berhati suci. Seandainya ia telah menjadi seorang yang kaya raya maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, dan tidak pernah diperolehnya melalui jalan dosa, bahkan ia pun tak hendak menerima barang yang syubhat. Oleh sebab itu, usul ‘Umar ditolaknya dna alasan yang dikemukakannya dipatahkan. Maka ‘Umar pun berpaling dan meninggalkannya.
Pada keesokan harinya, Mu’adz segera pergi ke rumah ‘Umar. Ketika sampai disana ‘Umar dirangkul dan dipeluknya, sementara air mata mengalir mendahului perkataannya seraya berkata, “malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang dan menyelamatkan saya, wahai ‘Umar…!” kemudian bersama-sama mereka datang kepada Abu Bakar, dan Mu’adz meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya. “tidak ada sesuatupun yang akan saya ambil darimu” ujar Abu Bakar. “sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik” kata ‘Umar menghadapkan pembicaraannya kepada Mu’adz.
Mu’adz pindah ke Syiria, tempat ia tinggal bersama penduduk dan orang yang berkunjung kesana. Ia bertindak sebagai guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu ‘Ubaidah (gubernur militer disana pada waktu itu) yang merupakan sahabat karib Mu’adz meninggal dunia, maka Mu’adz diangkat oleh Amirul Mu’minin ‘Umar sebagai penggantinya di Syiria. Tetapi ia hanya beberapa bulan saja memegang jabatan itu karena ia dipanggil Allah SWT untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri. Dan ia wafat pada usia 33 tahun.
Dalam sakaratul mautnya munculah dari bawah sadarnya hakikat segala yang bernyawa ini, dan seandainya ia dapat berbicara niscaya akan mengalirlah dari lisannya kata-kata yang dapat menyimpulkan urusan dan kehidupannya. Dan pada saat-saat itu Mu’adz pun mengucapkan perkataan yang menunjukkan bahwa dirinya seorang mu’min besar. Matanya menatap ke arah langit, dan bermunajat kepada Allah seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-MU… Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus dikala panas dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan, dan ketaatan” lalu diulurkanlah tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam ghaib ia sempat mengatakan, “selamat datang wahai maut, kekasih tiba disaat diperlukan” dan nyawa Mu’adz pun melayang menghadap Allah. Kita semuanya kepunyaan Allah… Dan kepada-Nya kita kembali.
Sumber : serial karakteristik perihidup 60 shahabat Rasulullah

Zaid bin haritsah

Zaid bin Haritsah seorang yg dilukiskan oleh para ahli sejarah dgn perawakan biasa pendek kulitnya coklat kemerah-merahan dan hidung yg agak pesek adl termasuk pahlawan-pahlawan Islam yg besar. Sudah lama sekali Su’da isteri Haritsah berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Maan. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak sabar lagi menunggu waktu keberangkatanya. Pada suatu pagi yg cerah suaminya mempersiapkan kendaraan dan perbekalan utk keperluan itu. Kelihatan Su’da sedang menggendong anaknya yg masih kecil Zaid bin Haritsah. Di waktu ia akan menitipkan isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yg akan berangkat bersama dgn isterinya menyelinaplah rasa sedih di hatiya disertai perasaan aneh menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Karena ia harus menyelesaikan tugas dan pekerjaannya perasaan gundah itu hilang jua. Kafilah pun berangkat meninggalkan kampung itu; Harisah pun mengucapkan selamat jalan kepada isteri dan anaknya .. Haritsah melepas kepergian isteri dan anaknya dgn air mata berlinang. Isteri dan anaknya pun sangat sedih dalam peristiwa perpisahan itu. Setelah mereka berdua sampai di tempat tujuan beberapa waktu kemudian terjadilah musibah yg menimpa penduduk kampung Bani Maan. Kampung itu habis porak-poranda diserang oleh gerombolan perampok Badui. Semua barang berharga milik penduduk kampung itu dikuras habis; penduduknya ditawan dan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka pulanglah Su’da utk menyusul suaminya seorang diri. Demi Harisah mengetahui kejadian itu ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya segera ia berjalan mencari anak kesayangannya. Padang pasir dijelajahinya kampung demi kampung diselidikinya. Sesekali ia bertanya kepada kabilah yg lewat; kalau-kalau ada yg tahu keberadaan anaknya tersayang Zaid. Usahanya itu pun belum menunjukan hasil. Sambil menghibur diri ia bersyari

“Kutangisi Zaid ku tak tahu apa yg telah terjadiDapatkah ia diharapkan hidup atau telah mati?Demi Allah ku tak tahu sungguh aku hanya bertanyaApakah di lebah ia celaka atau dibukit ia binasa?Di kala matahari terbit ku terkenang padanyaBila surya terbenam ingatan kembali menjelmaTiupan angin yg membangkitkan kerinduan pulaWahai alangkah lamanya duka nestapa diriku jadi merana.”

Ketika kabilah perampok yg menyerang desa Bani Maan berhasil dgn rampokannya mereka pergi ke pasar Ukaz menjual barang-barang dan tawanan hasil rampokannya. Si kecil Zaid dibeli dibeli oleh Hakim bin Hizam. Pada kemudian harinya ia memberikannya kepada mak ciknya Siti Khadijah. Pada waktu itu Khadijah ra telah menjadi isteri Muhammad bin Abdillah . Selanjutnya Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi Muhammad. Beliau pun menerimanya dgn senang hati lalu segera memerdekannya. Dengan pribadinya yg besar dan jiwanya yg mulia Zaid diasuh dan dididiknya dgn segala kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anaknya sendiri. Pada salah satu musim haji sekelompok orang dari desa tempat Haritsah tinggal berjumpa dgn Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bunda Zaid. Zaid balik menyampaikan pesan salam rindu dan hormatnya kepada kedua orang tuanya. Kepada para hujaj atau jamaah haji itu Zaid berkata “Tolong beritakan kepada kedua orang tuaku bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yg paling mulia.” Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada segera ia mengatur perjalanan ke Mekah bersama seorang saudaranya. Sesampainya di Mekah ia menanyakan di mana rumah Muhammad. Setelah bertemu dgn Muhammad Harisah berkata “Wahai Ibnu Abdil Muththalib..! wahai putera dari pemimpin kaumnya! Anda termasuk penduduk tanah Suci yg biasa membebaskan orang tertindas yg suka memberi makanan para tawanan. Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?” Muhammad merasakan benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya tetapi dalam pada itu merasakan pula hal seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata Muhammad kepada Haritsah”Panggilah Zaid itu ke sini suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih Anda maka akan saya kembalikan kepada Anda tanpa tebusan. Sebaliknya jika ia memilihku maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yg telah memilihku!” Mendengar ucapan Muhammad yg demikian wajah Haritsah berseri-seri kegirangan krn tak disangkanya sama sekali keluar darinya kemurahan seperti itu lalu ucapnya “Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan Anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!” Kemudian Muhammad menyuruh seseorang utk memanggil Zaid. Setibanya dihadapannya beliau langsung bertanya “Tahukah Engkau siapa orang-orang ini?” “Ya tahu” jawab Zaid.” Yang ini ayahku sedangkan yg seorang lagi adl pamanku.” Kemudian Muhammad mengulangi lagi apa yg telah dikatakannya kepada ayahnya tadi yaitu tentang kebebasan memilih orang yg disenanginya. Tanpa berpikir panjang Zaid menjawab “Tak ada orang pilihanku kecuali Anda ! Andalah ayah dan Andalah pamanku!” Mendengar itu kedua mata Muhammad basah dgn air mata krn rasa syukur dan haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid dibawanya ke pekarangan Ka’bah tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul lalu serunya “Saksikan oleh kalian semua bahwa mulai saat ini Zaid adl anakku.. yg akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya.” Mendengar ucapan itu hati Harits seakan-akan berada diawang-awang krn suka citanya sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan malahan sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yg termulia dari suku Quraisy yg terkenal dgn sebutan “Ash-Shadiqul Amin” keturunan Bani Hasyim tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya. Meskipun telah sekian lama merindukan anaknya kembali Zaid dan pamannya pulang dgn hati yg tenteram krn anaknya berada dalam naungan keluarga yg termulia keluarga Muhammad. Muhammad telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat maka menjadi terkenallah ia diseluruh Mekah dgn nama “Zaid bin Muhammad.” Pada suatu hari yg cerah seruan wahyu yg pertama datang kepada Muhammad “Bacalah dgn menyebut nama Tuhanmu yg telah menciptakan! Ia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah yg telah mengajari manusia dgn kalam . Mengajari manusia apa-apa yg tidak diketahuinya.” . Kemudian datang susul-menyusul wahyu berkikutnya kepadanya “Wahai orang yg berselimut! bangunlah lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah.” “Hai Rasul sampaikan apa yg diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yg kafir.” Tidak tak lama setelah Muhammad memikul tugas kerasulannya dgn turunnya wahyu tersebut jadilah Zaid sebagai orang yg kedua masuk Islam bahkan ada yg mengatakan sebagai orang yg pertama. Rasul sangat sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar disebabkan kejujurannya kebesaran jiwanya kelembutan dan kesucian hatinya sertaiterpelihara lidah dan tangannya. Semua itu menyebebkan Zaid punya kedudukan tersendiri sebagai “Zaid Kesayangan” sebagaimana yg telah dipanggilkan sahabat-sahabat rasul kepadanya. Berkatalah Aisyah ra “Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yg disertai oleh Zaid pastilah ia yg selalu diangkat menjadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah.” Suatu ketika Rasulullah saw berdiri melepas bala tentara Islam yg akan berangkat menuju medan perang Muktah melawan orang-orang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama yg akan memegang pimpinan dalam pasukan secara berurutan sabdanya “Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah! Seandainya ia tewas pimpinan akan diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thalib; dan seandainya Jafar tewas pula maka komando hendaklah dipegang oleh Abdullah ibnul Rawahah.” Sampai ke tingkat inilah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah saw. Siapakah sebenarnya Zaid ini? Ia seorang anak yg pernah ditawan diperjualbelikan lalu dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya. Ia seorang laki-laki yg berperawakan pendek berkulit coklat kemerahan hidung pesek tapi ia adl manusia yg berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka. Karena itulah ia mendapt temapat yg tinggi di dalam Islam dan di hati Rasululah saw. Rasulullah saw menikahkan Zaid dgn Zainab anak makciknya. Sayangnya pernikahannya tidak berumur panjang dan berakhir dgn perceraian. Kesediaan Zainab menikah dgn Zaid hanya krn rasa enggan menolak anjuran dan syafaat Rasulullah dan krn tidak sampai hati menolak Zaid sendiri. Maka Rasulullah saw mengambil tanggung jawab terhadap rumah tangga Zaid ini yg telah pecah itu. Rasulullah merangkul Zainab dgn menikahinya sebagai isterinya kemudian mencarikan Ummu Kultsum binti ‘Uqbah yg kemudian dinikahkan dgn Zaid. Karena peristiwa tersebut terjadilah kegemparan di kalangan masyarakat kota madinah. Mereka melemparkan kecaman kenapa Rasul menikahi bekas isteri anak angkatnya. Tantangan dan kecaman ini kemudian dijawab oleh Allah SWT dgn wahyu-Nya yg membedakan antara anak anagkat dan anak kandung atau anak adaptasi dgn anak sebenarnya sekaligus membatalkan adat kebiasaan yg berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut “Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki kalian. Tetapi ia adl Rasul Allah dan Nabi penutup. Dengan turunnya wahyu tersebut Zaid kemudian dipanggil dgn sebutan “Zaid bin Haritsah.” Dan sekarang..Tahukah anda bahwa kekuatan Islam yg pernah maju ke medan perang “Al-Jumuh” komandannya adl Zaid bin Haritsah? Kekuatan-kekuatan laskar Islam yg begerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf al-’Ish al-Hismi dan lainnya panglima pasukannya adl Zaid bin Haritsah juga? Begitulah sebagaimana yg pernah kita dengar dari Aisyah ra sebelumnya “Setiap Nabi mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan pasti ia yg diangkat menjadi pemimpinnya.” Suatu ketika datanglah perang Muktah yg terkenal itu. Adapun orang-orang Romawi dgn kerajaan mereka yg telah tua bangka secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yg dapat mengancam keselamatan mereka. Terutama di daerah jajahan mereka Syam yg berbatasan dgn negara dari agama baru ini yg senantiasa bergerak maju dalam membebaskan negara-negara tetangganya dari cengkeraman penjajah. Bertolak dari pikiran demikian mereka hendak mengambil Syria sebagai batu loncatan utk menaklukan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam. Gerak-gerik orang-orang Romawi dan tuan terakhir mereka yg hendak menumpas kakuatan Islam dapat tercium oleh Nabi. Sebagai seorang yg ahli strategi Nabi memutuskan utk mendahului mereka dgn serangan mendadak sebelum diserang di daerahnya sendiri. Demikianlah pada bulan Jumafil Ula tahun yg kedelapan Hijriah tentara Islam maju bergerak ke Balqa’ di wilayah Syam. Demi mereka sampai di perbatasannya mereka dihadapi tentara Romawi yg dipimpin oleh Heraklius dgn mengerahkan juga kabilah-kabilah atau suku-suku badui yg diam di perbatasan. Tentara Romawi mengambil tempat di suatu daerah yg bernama Masyarif sedangkan laskar Islam mengambil posisi di dekat negeri kecil yg bernama Muktah yg kemudian dijadikan nama pertempuran ini. Rasulullah saw mengetahui benar arti penting dan bahayannya peperangan ini. Oleh sebab itu beliau sengaja memilih tiga orang panglima perang yg di waktu malam bertakarub mendekatkan mendekatkan diri kepada Ilahi sedangkan di siang hari sebagai pendekar pejuang pembela agama. Tiga orang pahlawan itu adl mereka yg siap menggadaikan jiwa raga mereka kepada Allah yg tiada berkeinginan kembali yg bercita-cita mati syahid dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah yg mengharap semata-mata ridha Illahi dgn menemui wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak. Mereka bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah Zaid bin Haritsah Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah moga-moga Allah rela kepada mereka dan menjadikan mereka rela kepada-Nya serta Allah merelakan pula seluruh sahabat lainya. Rasul berdiri di hadapan pasukan tentara Islam yg hendak berangkat itu. Rasul melepas mereka dgn amanat “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Harits sebagai pimpinan seandainya ia gugur pimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib dan senadainya Ja’far gugur pula maka tempatnya diisi oleh Abdullah bin Rawabah.” Ja’far bin Abi Thalib dijadikan orang yg kedua setelah Zaid meskipun keberanian dan ketangkasanya serta keturunan dan kebangsawanannya tidak diragukan lagi bahkan orang yg paling dekat kepada Rasul dari segi hubungan keluarga sebagai anak pamannya sendiri. Beginilah contoh dan teladan yg diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip. Islam sebagai suatu agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yg didasarkan pada darah dan turunan atau yg ditegakkan atas yg batil dan rasialisme. Islam mengganti sistem-sistem yg tidak baik itu atas bimbingan dan hidayah Ilahi yg berpokok kepada hakikat kemanusiaan. Ketika Rasulullah memilih mereka bertiga utk menjadi pemimpin pasukan secara berurutan seolah-olah beliau telah telah mengetahui secara ghaib tentang pertempuarn yg akan berlangsung. Beliau mengatur dan menetapkan susunan panglimanya dgn tertib berurutan Zaid lalu lalu Ja’far kemudian Ibnu Abi Rawahah ternyata ketika mereka menemui ajalnya pulang ke rahmat Allah sebagai syuhada sesuai dgn urutan itu pula. Demi Kaum Muslimin melihat tentara romawi yg jumlahnya menurut taksiran tidak kurang dari 200.000 orang suatu jumlah yg tak mereka duka sama sekali mereka terkejut. Tetapi kapankah pertarungan yg didasari iman mempertimbangkan jumlah bilangan? Ketika itulah disana merek amaju terus tanpa gentar tak perduli dan tak menghiraukan besarnya musuh. Didepan sekali kelihatan dgn tangkasnya mengendarai kuda panglima mereka Zaid sambil memegang teguh panji-panji Rasulullah SAW. maju menyerbu laksana topan dicelah-celah desingan anak panah ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya semata-mata mencari kemenangan tetapi lbh dari itu mereka mencari apa yg telah dijanjikan Allah yaknitempat pembaringan disisi Allah karen sesuai dgn firman-Nya “Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang Mu’min dgn surga sebagai imbalannya.” Zaid tak sempat melihat pasir Balqa’ bahkan pula keadaan bala tentara Romawi tetapi ia langsung melihat keindahan taman-taman surga dgn dedaunannya yg hijau berombak laksana kibaran bendera yg memberitakan kepadanya bahwa irulah hari istirahat dan kemenanggannya. Ia telah terjun ke medan laga dgn menerpa menbas membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya ia hanyala membuka pintu dan menembus dinding yg menghalanginya kekampung kedamaian surga yg kekal disisi Allah. Ia telah menemui tempat peristirahatannya yg akhir. Rohnya yg melayang dalam perjalannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yg tidak berbungkus sutera dewangga hanya berbalut darah suci yg mengalir di jalan Allah. Senyumnya semakin melebar dgn tenang penuh ni’mat krn melihat panglima yg kedua Ja’far melesit maju ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya. utk menyambar panji-panji yg akan dipanggulnya sebelum jatuh ketanah. Sumber Diadaptasi dari Karakteristik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah Khalid Muh. Khalid Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Abdullah Bin Mas'ud

Orang Pertama yang Berani Membaca Al Qur’an dengan Jahr (Keras) Setelah Rasulullah Saw. “Barang Siapa yang Suka Membaca Al Qur’an Sesegar Seperti Baru Turun, Maka Bacalah dengan Bacaan Ibnu Ummi Abd” (Muhammad Rasulullah)

Saat itu ia adalah seorang anak kecil yang belum berusia baligh. Ia berasal dari sebuah desa di lereng Mekkah yang jauh dari keramaian manusia. Pekerjaannya ialah menggembalakan domba milik salah seorang pembesar Quraisy yang bernama Uqbah bin Abi Muayyath. Kebanyakan orang memanggilnya dengan Ibnu Ummi Abdin. Nama aslinya adalah Abdullah dan nama ayahnya adalah Mas’ud.

Bocah ini mendengar kisah Nabi Saw yang tersiar di kalangan kaumnya. Namun ia tidak peduli dengan berita tersebut. Karena saat itu ia masih kecil dan terisolir dari masyarakat Mekkah. Ia terbiasa untuk keluar rumah pada pagi hari dengan menggembala domba milik Uqbah, dan baru kembali saat malam tiba.

Pada suatu hari bocah yang bernama Abdullah bin Mas’ud ini melihat ada 2 orang pria dewasa yang sedang berjalan ke arahnya dari jauh. Keduanya terlihat letih. Mereka terlihat amat kehausan sehingga kedua bibirnya pun tampak kering.

Sesampainya mereka di hadapan bocah ini maka keduanya mengucapkan salam kepadanya seraya berkata: “Wahai ananda, tolong peraskan susu domba-domba ini untuk menghilangkan dahaga dan membasahi tenggorokan kami.” Kemudian bocah itu pun berkata: “Aku tidak akan melakukannya. Domba-domba ini bukan milikku. Aku hanya dipercayakan untuk menggembalanya saja!”

Kedua pria tadi tidak memungkiri apa yang dikatakan oleh bocah ini, dan tampak dari wajahnya bahwa mereka menerima alasan bocah itu. Lalu salah seorang di antara mereka berkata kepada bocah tadi, “Tunjukkan kepadaku seekor domba jantan!”

Maka bocah tersebut menunjuk ke arah seekor domba kecil yang ada di dekatnya. Lalu pria tadi menghampiri dan menangkapnya. Ia mengusap puting kambing dengan tangannya sambil membaca nama Allah. Bocah tadi mengamati apa yang dilakukan pria ini dengan penuh keheranan. “Bagaimana mungkin seekor domba jantan kecil dapat mengeluarkan susu?!” gumamnya.

Akan tetapi, puting susu kambing itu tiba-tiba menggelembung, lalu keluarlah susu yang begitu banyak darinya. Lalu pria yang lain mengambil sebuah batu kering dari tanah. Kemudian batu tersebut diisinya dengan susu. Dan keduanya minum dengan batu tersebut. Lalu keduanya memberikan susu itu kepadaku untuk diminum. Aku hampir saja tidak mempercayai apa yang baru saja kulihat.

Setelah kami merasa puas. Pria yang mendapatkan berkah dengan susu kambing tadi berkata: “Berhentilah!” Maka berhentilah susu tersebut sehingga puting kambing kembali seperti sedia kala.

Pada saat itu, aku berkata kepada manusia yang penuh berkah tadi: “Ajarkan aku ucapan yang kau baca tadi!” Ia menjawab: “Engkau adalah seorang bocah yang terpelajar!”

Peristiwa tersebut adalah awal mula Abdullah bin Mas’ud mengenal Islam. Karena pria yang penuh berkah tadi tiada lain adalah Rasulullah Saw, dan sahabat yang menyertainya saat itu adalah Abu Bakar As Shiddiq ra.
Pada hari itu mereka berdua pergi menuju lereng-lereng Mekkah, karena menghindari penyiksaan oleh suku Quraisy.

Tak lama berselang dari peristiwa itu, Abdullah bin Mas’ud menyatakan masuk Islam dan menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Saw untuk membantu Beliau. Maka Rasulullah Saw menjadikan dia sebagai pembantunya.

Abdullah bin Mas’ud terus mendampingi Rasulullah Saw seperti sebuah bayangan. Ia senantiasa menemani Rasulullah Saw baik dalam kondisi menetap atau saat bepergian. Ia juga mendampingi Rasulullah Saw baik di dalam maupun di luar rumah.

Dialah yang membangunkan Rasulullah Saw saat Beliau tidur. Dia yang menutupi Rasul bila Beliau sedang mandi. Dia yang memakaikan sandal, bila Rasul hendak keluar dan melepaskannya lagi bila Rasulullah Saw hendak masuk ke rumah. Bahkan Rasulullah Saw mengizinkan Abdullah bin Masud untuk masuk ke rumahnya kapan saja ia mau. Rasul Saw membiarkan Abdullah mengetahui rahasia Beliau tanpa pernah merasa resah, sehingga ia dikenal dengan sebutan ‘penjaga rahasia Rasulullah Saw.’

Abdullah bin Mas’ud dididik di rumah Rasulullah Saw sehingga ia dapat menyerap petunjuk yang diberikan Rasul dan berakhlak seperti akhlak Beliau. Ia mengikuti jejak Rasul dalam setiap gerak-geriknya, sehingga ada yang mengatakan: ‘Dia adalah manusia yang paling dekat kepada Rasul dalam menerima petunjuk dan akhlaknya!”

Abdullah bin Mas’ud belajar langsung di bawah bimbingan Rasulullah Saw sehingga ia menjadi sahabat yang paling paham akan bacaan Al Qur’an. Yang paling mengerti akan maknanya dan paling tahu akan syariat Allah.

Tidak ada kisah yang paling menunjukkan hal ini kecuali cerita seorang pria yang datang kepada Umar bin Khattab saat ia sedang wukuf di Arafah.

Pria ini berkata kepada Umar: “Wahai Amirul Mukminin, aku datang dari Kufah, di sana ada seorang pria yang mendiktekan mushaf Al Qur’an di luar kepala (saking hapalnya). Mendengar perkataan itu, Umar pun amat marah. Ia berkata, “Celaka kamu, siapakah dia?!” Pria tadi menjawab: “Abdullah bin Mas’ud.”

Amarah Umar langsung mereda dan kembali lagi dalam kondisi semula. Lalu ia berujar, “Celaka kamu, Demi Allah aku tidak tahu ada orang yang masih tersisa yang lebih berhak dalam urusan ini selain dia. Aku akan bercerita kepadamu tentang hal ini.”

Kemudian Umar pun memulai ceritanya, “Suatu malam Rasulullah Saw sedang berbicara dan bermusyawarah dengan Abu Bakar ra seputar permasalahan kaum muslimin. Saat itu aku bersama mereka. Kemudian Rasulullah Saw keluar dan kami ikut keluar bersamanya. Ternyata kami dapati ada seorang pria yang sedang shalat di masjid dan kami tidak tahu siapa dia sebenarnya. Rasul Saw diam sejenak untuk mendengarkan bacaannya. Kemudian Beliau menoleh ke arah kami seraya bersabda: “Siapa yang ingin membaca Al Qur’an sesegar seperti baru diturunkan, maka bacalah seperti bacaan Ibnu Ummi Abdin!”

Kemudian terlihat Abdullah bin Mas’ud duduk dan berdo’a. Lalu Rasulullah Saw berkata kepadanya: “Mintalah pasti engkau akan diberi! Mintalah pasti engkau akan diberi!”

Lalu Umar meneruskan kisahnya, “Dalam hati aku berkata, “Demi Allah, besok pagi aku akan mendatangi Abdullah bin Mas’ud dan aku akan menyampaikan kabar gembira bahwa Rasulullah Saw mengaminkan do’anya. Keesokan harinya aku mendatangi Abdullah untuk menyampaikan kabar gembira ini, namun Abu Bakar telah mendahuluiku untuk memberi kabar gembira ini kepadanya.

Demi Allah, tidak pernah aku mengalahkan Abu Bakar dalam kebaikan, pasti ia sudah lebih dahulu melakukannya!”

Ilmu Abdullah bin Mas’ud tentang Kitabullah telah sampai pada tingkatan sebagaimana yang ia katakan:
“Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya. Tidak ada satu ayatpun dari Kitabullah yang turun kecuali aku mengetahui dimana ia diturunkan, dan aku mengetahui dalam peristiwa apa ia diturunkan. Jika aku tahu ada seseorang yang lebih mengerti Kitabullah dariku, jika mungkin bisa ditempuh pasti akan kudatangi ia.

Abdullah bin Mas’ud tidak berlebihan saat ia berkata tentang dirinya. Inilah kisah Umar bin Khattab ra yang berjumpa dengan sebuah kafilah dalam sebuah perjalanan, dan malam sudah meliputi siang sehingga membuat kafilah tadi kegelapan.

Dalam kafilah tersebut terdapat Abdullah bin Mas’ud. Maka Umar bin Khattab memerintahkan seseorang untuk memanggil mereka. Lalu utusan itu bertanya, “Dari mana kafilah ini?” Maka Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Minal fajjil amiq (Dari lembah yang jauh)!’ Utusan itu kembali bertanya, “Hendak kemana kalian?” Abdullah menjawab, “Al Baital atiq (Ke rumah tua / Ka’bah)!” Maka Umar berkata: “Dalam kafilah ini ada seorang yang Alim.

Umar pun memerintahkan seseorang untuk bertanya: “Ayat Al Qur’an mana yang paling agung?” Maka Abdullah menjawab, “Allahu La Ilaaha illa Huwa Al Hayyu Al Qayyum, La Takhudzuhu sinatun wa la naum (Allah, tiada Tuhan selain Dia Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri. Ia tidak pernah merasa ngantuk dan tertidur.”

Umar memerintahkan, “Tanyakan kepada mereka ayat Al Qur’an mana yang paling bijak?” Maka Abdullah menjawab: “Inna Allaha ya’muru bil adli wal ihsan wa iitai dzil qurba (Sungguh Allah memerintahkan untuk berbuat adil, baik dan memberikan bantuan kepada kerabat terdekat).”

Umar lalu memerintahkan, “Tanyakan kepada mereka, ayat Al Qur’an mana yang paling lengkap?” Abdullah menjawab: “Fa man ya’mal mitsqala dzarratin khayran yarahu, wa man ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarahu (Siapa orang yang melakukan kebaikan seberat biji dzarrah maka ia akan melihatnya. Siapa orang yang melakukan keburukan seberat biji dzarrah maka ia akan melihatnya.”

Umar memerintahkan, “Tanyakan kepada mereka, ayat Al Qur’an mana yang paling membuat takut?” Abdullah menjawab: “Laisa bi amaniyikum wa la amaniyi ahlil kitab man ya’mal suu’an yujza bihi wa la yajid lahu min duunillahi waliyyan wa la nashiran ((Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah).”

Umar lalu memerintahkan, “Tanyakan kepada mereka, ayat Al Qur’an mana yang paling memberi harapan?” Abdullah menjawab: “Qul ya ibadiya alladzina asrafu ala anfusihim wa la taqnatuu min rahmatillah Innallaha yaghfiru Adz dzuuuba jamiian. Innahu Huwa Al Ghafuur Al Rahiim (Katakanlah:"Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah.Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).”

Umar memerintahkan, “Apakah ada Abdullah bin Mas’ud bersama kalian?” Maka rombongan tersebut serempak menjawab, “Benar!”

Abdullah bin Mas’ud tidak hanya pandai, mengerti Al Qur’an, taat beribadah dan zuhud saja; akan tetapi ia bahkan adalah sosok yang kuat, tegar, mujahid yang pantang mundur jika berperang.

Dalam hal ini sebagai buktinya cukup dengan pernyataan bahwa dia adalah muslim pertama di muka bumi setelah Rasul Saw yang berani membacakan Al Qur’an dengan terang-terangan.

Pada suatu hari para sahabat Rasulullah Saw tengah berkumpul di Mekkah. Saat itu mereka adalah kelompok minoritas yang selalu tertindas. Mereka berkata, “Demi Allah, kaum Quraisy belum pernah mendengar Al Qur’an dibacakan dengan keras kepada mereka. Siapakah orang yang berani membacakannya kepada mereka?!”

Maka Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku yang akan membacakan Al Qur’an kepada mereka!”

Maka para sahabat tadi menukas, “Kami khawatir mereka akan mencelakaimu. Yang kami inginkan adalah seseorang yang memiliki keluarga besar yang dapat melindungi dan menjaganya dari kejahatan mereka, bila mereka berniat melakukannya.”

Abdullah menjawab: “Biarkan aku melakukannya, karena Allah akan menjaga dan melindungiku!”

Kemudian ia pergi ke Masjidil Haram dan ia berjalan ke arah maqam Ibrahim pada waktu dhuha. Saat itu suku Quraisy sedang duduk di sekeliling Ka’bah. Abdullah lalu berdiri di depan Maqam Ibrahim dan membacakan dengan suara keras, “Bismillahirrahmanirrahim, Ar Rahman, Allamal Qur’an, Khalaqal Insana, Allamahul Bayan. ((Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al-Qur'an. Dia menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara).” Ia masih meneruskan bacaannya.

Mendengar bacaan itu mau tak mau orang-orang Quraisy pun mulai meresapi bacaannya. Mereka berkata, “Apa yang sedang dibaca oleh Ibnu Ummi Abdin? Celaka dia! Dia sedang membaca sebagian ayat yang dibawa oleh Muhammad!”

Mereka pun langsung menghampiri Abdullah dan memukuli wajahnya. Namun, ia masih saja meneruskan bacaannya sehingga batas yang Allah tentukan. Kemudian ia datang menghampiri para sahabatnya dan darah pun mengalir dari tubuhnya. Para sahabatnya berkata: “Inilah yang kami khawatirkan pada dirimu!”

Abdullah menjawab: “Demi Allah, mulai saat ini tidak ada yang lebih berat dari para musuh Allah. Jika kalian mau, besok pagi aku akan membuat mereka semua seperti ini!” Para sahabat menjawab: “Jangan, cukuplah karena engkau telah berani membacakan kepada mereka apa yang mereka benci!”

Abdullah bin Mas’ud masih hidup hingga masa khilafah Utsman bin Affan ra. Saat ia mendekati ajalnya, Utsman menjenguknya lalu bertanya, “Apa yang kau keluhkan?” Ia menjawab: “Dosa-dosaku.” Utsman bertanya: “Apa yang kau inginkan?” Ia menjawab: “Rahmat Tuhanku.” Utsman bertanya: “Apakah engkau menginginkan jatahmu yang selalu kau tolak sejak bertahun-tahun lalu?” Ia menjawab: “Aku tidak memerlukannya.” Utsman berkata: “Itu akan bermanfaat bagi putri-putrimu sepeninggalmu nanti” Ia berkata, “Apakah engkau khawatir anak-anakku menjadi faqir? Aku telah memerintahkan mereka untuk membaca surat Al Waqiah setiap malam. Aku pernah mendengar sabda Rasul Saw: ‘Siapa yang membaca surat Al Waqiah setiap malam, maka ia tidak akan terkena kefakiran untuk selamanya.”

Begitu malam tiba, Abdullah bin Mas’ud kembali kepangkuan Ilahi. Lisannya basah dengan dzikir kepada Allah.
Jenazahnya dishalatkan oleh ribuan kaum muslimin; termasuk didalamnya Zubeir bin Awwam.
Kemudian ia dimakamkan di Baqi. Semoga Allah merahmatinya.

Untuk merujuk lebih jauh tentang profil Abdullah bin Mas’ud silahkan melihat:
1. Al Ishabah 2/368 atau terjemah 4954
2. Al Isti’ab (dengan Hamisyh Al Ishabah): 2/316
3. Tarikhul Islam karya Al Dzahaby: 2/100-104
4. Tadzkiratul Huffadz: 1/12-15
5. Al Bidayah wa An Nihayah: 7/162-163
6. Thabaqat Al Sya’rani: 29-30
7. Syadzarat Al Dzahab: 1/38-39
8. Usudul Ghabah: 3/384-390
9. Siyar A’lam An Nubala: 1/461-500
10. Shifatus Shafwah: 1/154-166
11. Musnad Al Imam Ahmad: 5/210
12. Dalail An Nubuwah: 273

Khubaib bin Adi

Sesudah selesai pemancungan Zaid, datang pula rombongan lain yang menyeret Khubaib bin Adi. Sesuai dengan hukum yang berlaku di seluruh Tanah Arab, kepada pesalah yang dijatuhi qisas mati diberikan hak untuk menyampaikan permintaan terakhir. Demikian juga Khubaib. Juru dakwah yang bestari ini meminta izin untuk solat sunnah dua rakaat. Permohonan tersebut dikabulkan. Dengan khusyuk dan tenang, seolah-olah dalam suasana aman tenteram tanpa ancaman kematian, Khubaib melaksanakan ibadahnya sampai selesai. Setelah salam dan mengangkat dua tangan, ia berkata, "Demi Allah. Andaikata bukan kerana takut disangka aku gentar menghadapi maut, maka solatku akan kulakukan lebih panjang." Khubaib disalib dahulu lalu dihabisi sepertimana dilaksanakan ke atas Zaid bin Abdutsunah. Jasadnya telah lebur sebagaimana jenazah lima sahabatnya yang lain. Namun semangat dakwah mereka yang dilandasi keikhlasan untuk menyebarkan ajaran kebenaran takkan pernah padam dari permukaan bumi. Semangat itu terus bergema sehingga makin banyak jumlah pendakwah yang dengan kekuatan sendiri, atas biaya peribadi, menyelusup keluar-masuk pedalaman berbatu-batu karang atau berhutan-hutan belantara buat menyampaikan firman Tuhan menuju keselamatan

Tentang kritikan keempat, ketika saya masih jahiliah saya pernah menyaksikan almarhum Khubaib bin Adi dihukum oleh kaum Quraisy yang kafir. Saya menyaksikan tubuhnya dicincang oleh orang Quraisy. Mereka bawa tubuh itu dengan tandu sambil bertanya kepada Khubaib, ‘Mahukah tempatmu ini diisi oleh Muhammad sebagai gantimu, sedang kamu berada dalam keadaan sihat wal afiat?’ Jawab Khubaib, ‘Demi Allah, saya tidak ingin berada dalam lingkungan anak isteriku diliputi keselamatan dan kesenangan dunia manakala Rasulullah SAW ditimpa bencana walau oleh tusukan duri sekalipun...’ “Setiap kali saya terkenang peristiwa itu tubuh saya gementar kerana takut akan siksa Allah dan saya berasa berdosa kerana pada waktu itu saya tidak dapat membantu Khubaib sedikit pun. Dan saya berasa dosa saya tidak akan diampuni Allah SWT....!”